Senin, 04 Oktober 2010

TUGAS SOFT SKILL (PENGANTAR BISNIS INFORMASTIKA)

Perkembangan Bisinis IT di Bidang Industri Musik (Recording Music Studio)

Pada tahun 1945, musik tetap terbelenggu dalam dua dekade, dimana dalam eksperimen rekaman long play (Piringan hitam) pertama dilakukan oleh Irama Record 1957 atau setahun lebih tua dari produksi komersial Warner Bos. Pada masa itu musik tak punya akar yang kuat untuk menjadi pohon bisnis.



Hingga pada akhir 1970-an, musik berkembang di hampir semua jalur. Di jalur pop, kelompok-kelompok musik seperti Koes Plus, Favorite Group, Bimbo, D’Lloyd, The Mercy’s, atau Panbers. Di jalur dangdut, Rhoma Irama mengibarkan Soneta yang menggabungkan irama Melayu dan idiom Deep Purple. Balada dan country pun mulai mendapatkan tenaganya di tangan Yan Hartlan, Dede Haris, atau Iwan Abdurachman. Warna lain, yang memadukan pop dan art rock, lahir dari tangan Eros Djarot atau Guruh Soekarnoputra melalui kelompoknya, Gypsy.
Perubahan paling bergemuruh berlangsung di jalur rock. Godbless, Giant Step, Rawe Rontek, AKA, Rhapsodia, Rollies, atau SAS adalah beberapa agen perubahan itu. Sungguh sayang, kehadiran mereka baru sekadar jadi ‘pita kaset’ dari kelompok musisi asing yang tengah merajai dunia—sejak Led Zeppelin, Deep Purple, Black Sabbath, Alice Cooper, Rolling Stones, hingga The Beatles. Bisa dipahami kalau industri rekaman, yang mulai bermunculan saat itu, memunggungi mereka.
“Zaman itu zaman bebas merekam apa saja,” kata Jan Nurdjaja Djuhana, direktur senior artis dan repertoar Sony Music Entertainment Indonesia, yang pada 1973 ikut-ikutan mencari peruntungan dengan mendirikan Angels Record. Modalnya, tape recorder dan mesin ketik buat menuliskan judul-judul lagu. Lima sampai 10 kaset yang diproduksinya selama sepekan, ia taruh di etalase tokonya.


Pada tahun 1980-an, sikap industri rekaman terhadap musik rock mulai berubah secara signifikan menyusul lahirnya kader-kader berbagai festival. El Pamas, Power Metal, atau Slank adalah beberapa yang beruntung bisa mencicipi rejeki dapur rekaman. Keberuntungan yang sama juga menghampiri sejumlah lady rocker seperti Ita Purnamasari, Nicky Astria, Atiek CB, Anggun C. Sasmi, atau Nike Ardilla. Pada gilirannya mereka inilah yang menantang kekuatan pop generasi Jangan Sakiti Hatinya dan Hati yang Luka yang berada di tangan Iis Sugianto, Nia Daniaty, atau Betharia Sonata.

Eksperimen musik dan vokal yang diketengahkan mereka itulah agaknya yang membuka mata hati musisi lain untuk ikut mengeksplorasi kekayaan irama dan bunyi. Pop yang selama ini berada dalam ortodoksi Rinto Harahap, tiba saatnya mendapat gempuran musikus pop alternatif, katakanlah Dodo Zakaria yang mengorbitkan Vina Panduwinata. Nama lain seperti Trie Utami, Ruth Sahanaya, Yopie Latul, Utha Likumahuwa, Chrisye, atau Harvey Malaiholo, turut memberi sapuan perubahan selera pasar.
Jalur jazz, yang dalam dekade 1960-1970, hanya dihuni segelintir nama seperti Bubi Chen, Jack Lesmana atau Bill Saragih, pun membuat lompatan penting melalui Karimata, Bhaskara atau Krakatau. Nama-nama yang disebut terakhir mencoba mengawinkan jazz dan rock dalam satu kemasan sehingga menghasilkan beat-beat yang lebih bisa diterima publik luas. Fusion buat pertama kalinya mewujudkan diri dalam jagat musik Indonesia.
Segenap perubahan tadi mendapat sambutan industri rekaman, yang memang sedang berusaha membebaskan diri dari okultisme musisi luar.
Nasionalisme sedang bersemi di dada mereka? Tunggu dulu. Kehendak untuk mereproduksi artis dan musisi lokal agaknya lebih didasarkan pada munculnya aturan yang mengharuskan adanya lisensi bagi perusahaan yang merekam lagu-lagu Barat. Beleid ini hanya berselang dua tahun dari luapan amarah Bob Geldof lantaran materi Live Aid – konser musik raksasa yang diprakarsainya untuk membantu korban kelaparan Ethiopia pada 1985 – dikasetkan dengan semena-mena oleh kalangan industri rekaman Indonesia. Pemerintah tak luput dari tekanan masyarakat internasional lantaran dianggap ikut bersekongkol lewat pengenaan cukai resmi terhadap reproduksi itu.
Di bawah aturan baru, artis dan musisi Indonesia mendapat daulat di negerinya sendiri. Kini festival tidak hanya diikuti kaum pemusik, tapi juga pengusaha rekaman. Mereka berlomba-lomba untuk memproduksi album yang dapat diterima telinga publik.
Hampir seluruh jalur musik akhirnya tersambung ke industri rekaman. Tak terkecuali rock. Pada paruh akhir 1980-an, rock malah membuat kejutan ketika album Semut Hitam Godbless terjual mencapai 400 ribu kopi. Rekor penjualan sebesar ini bertahan untuk waktu lama sampai akhirnya datang generasi baru rock di bawah triumvirat penguasa pasar musik rock: Slank-Boomerang-Jamrud.
MESIN ekonomi Indonesia berputar kencang pada awal 1990-an. Pemerintah bahkan harus mengeluarkan kebijakan uang ketat (tight money policy) untuk menurunkan nafsu investasi yang meledak-ledak. Dalam situasi ini, sektor media massa juga jadi titik bidik kaum pemodal. Lumrah kalau bisnis suratkabar tiba-tiba berada di jalur cepat. Lumrah pula kalau bisnis televisi swasta bisa langsung tancap gas.



Bagi industri musik, perkembangan tadi besar artinya. Paling tidak, industri musik punya kesempatan yang lebih luas untuk melakukan aktivitas promosi. Di masa lalu, untuk media televisi misalnya, musik hanya punya satu pilihan: TVRI. Itu pun sangat terbatas lantaran beragam kendala.
Pertama-tama, tentu saja karena TVRI menghentikan paket siaran komersial, sehingga para pengusaha rekaman tidak bisa mendaulat sepenuhnya TVRI sebagai salah satu medium promosinya. Sisi lain, remote control paket musik TVRI berada di tangan manajemen Artis Safari, yang dikoordinasi bekas pelawak Eddy Sud. Tidak mudah bagi pengusaha rekaman untuk mempromosikan album rock gahar, atau musik yang dianggap tidak sesuai dengan “kepribadian Timur”. Lebih-lebih musisi yang hendak dipromosikannya hadir dengan baju kocar-kacir, rambut acak-acakan, mata seperti baru bangun tidur, dan tampang luar biasa berantakan.

Televisi swasta lebih permisif. Apalagi setelah stasiun Anteve bergandengan tangan dengan MTV-Asia yang bermarkas di Singapura itu. Segala jenis musik, dari pop sampai rap, dari jazz sampai rock, dari R&B sampai hip hop, bisa tampil di sana.
Dalam perjalanannya, industri musik dan industri televisi membentuk jaringan komunikasi yang konvergen. Konstelasi paling kentara dapat dilacak ke tahun 1997, ketika krisis finansial mulai menggejala di Indonesia. Untuk bertahan, stasiun-stasiun televisi tidak cukup hanya memangkas waktu siarannya dan membuang tayangan-tayangan langsung sepakbola atau tinju. Tapi juga berusaha membuat paket-paket siaran yang dianggap murah. Dan musik jadi salah satu pilihannya. Bukan saja murah, paket siaran musik pun adakalanya jadi sumber pemasukan kalau kebetulan yang ditayangkan adalah klip musik yang sedang dipromosikan perusahaan rekaman.
Riset yang dilakukan R. Anderson Sutton, peneliti dari Universitas Wisconsin-Madison, AS, barangkali dapat dijadikan referensi mengenai hal itu. Dalam kertas kerjanya, Popular Music on Indonesian Television: Local, Global, or National? Sutton memperlihatkan bagaimana stasiun-stasiun televisi bertahan dari gempuran krisis tadi. TPI dan Indosiar, umpamanya, segera menggenjot program acara dangdutan. Di pihak lain, RCTI merancang paket musik “Dua Warna” yang mengolaborasikan musik etnik dan modern dalam sebuah kemasan. Stasiun Anteve, bahkan menyewakan sebagian waktu siarnya kepada MTV-Asia. Di luar paket-paket yang dibuat, klip musik menyelinap di berbagai acara, bahkan pada primetime sekalipun.
Bagaimana perlakuan media cetak? Kurang lebih sama. Jangankan suratkabar yang bervisi hiburan, suratkabar seserius Kompas pun menjatahkan sebagian kolomnya buat memantau perkembangan musik—mulai album baru, tur para musikus, gosip penyanyi, hingga artikel panjang lebar sekitar industri musik. Buat kaum muda yang benar-benar keranjingan musik, tulisan dan foto artis pujaannya tidak cuma dapat ditemukan pada majalah Hai, Gadis, atau Aneka. Ada juga Bintang Indonesia dan Citra. Di belakang hari, mereka bisa baca Mumu, Music Book Selections, atau NewsMusik.
NILAI penjualan musik dunia meningkat secara impresif dalam satu dekade lalu. Data The International Federation of the Phonographic Industry (IFPI), lembaga yang menghimpun sekitar 1.400 industri rekaman internasional dengan afiliasi di 46 negara, memperlihatkan kenaikan itu sekurang-kurangnya mencapai 58 sampai 68 persen. Bisa dipahami kalau pada 2001, total nilai penjualan dunia sudah menotok angka 38 miliar dolar AS. Ditilik dari sini, apa sebenarnya arti Indonesia buat label-label mayor raksasa itu?.
Selama dekade yang sama, pasar musik dunia cenderung terkonsentrasi di Amerika Serikat. Daya serapnya, menurut IFPI, mencapai 40 persen lebih. Urutan kedua di tangan Jepang, yang menyerap sekitar 20 persen. Sekitar 20 persen lagi diserap Eropa, terutama Jerman, Swedia, Denmark, dan Inggris. Baru sisanya dilempar ke penjuru bumi yang lain. Kondisi macam begini bisa membahayakan masa depan industri musik, sebab pasar yang statis cepat atau lambat akan dilanda kejenuhan.


Dalam bisnis rekaman sangatlah mempertaruhkan segala hal “Kalau gagal bisa habis sama sekali,” Bens Leo menggenapi di kesempatan berbeda.
Ia bisa berkata demikian karena mengalami sendiri bagaimana pahit-getirnya menjalankan bisnis rekaman. Di awal 1990-an, ia mendirikan BL Produktama, dengan produksi pertama album Cerita Cinta milik Kahitna. Ia masih sempat berkipas-kipas senang lantaran album tersebut laku sampai 200 ribu kopi. Berikutnya, tanpa tahu di mana akar masalahnya, BL Produktama kehabisan peluru dan terus tiarap sampai kini.

“Belum apa-apa, kami mesti keluarin ongkos produksi, lalu advance, “ kata Leo lagi. “Artis yang mulai terkenal minta 100 juta di depan sebelum kita jualan.”
Advance atau uang muka, menurut Leo, masih bisa dinegosiasikan besarnya—bergantung pada kesepakatan apakah akan menggunakan royalti penuh, atau semi-royalti. Royalti penuh bisa menguntungkan produser, dengan catatan bila albumnya laku dan melampaui titik impas. Yang sulit “dinegosiasikan” adalah ongkos produksi. Lebih-lebih di masa serba tidak pasti seperti sekarang ini.
Berapa ongkos produksi sebuah album? Log Zhelebour, produser Logiss Records, mengungkapkan, biaya produksi album ben yang sudah dikenal bisa mencapai Rp 400 juta dalam 50 ribu kopi. Ini berarti Log menggunakan biaya promosi dan umum sekitar Rp 250 juta, sebab biaya reproduksi kaset sebenarnya hanya Rp 3.000 per unit. Biaya promosi sebesar itu cukup untuk membuat dua atau tiga klip video.
Bila harga kaset dipatok Rp 16 ribu per unit, album tersebut akan menghasilkan nilai jual Rp 800 juta. Di sini Log belum lagi untung. Paling-paling ia hanya mencapai titik impas versi buku. Hitungan saya, net margin Log cuma Rp 50 juta. Kepada Kontan, Log mengatakan, keuntungan kotor rata-rata kaset mencapai 40 persen dari harga jual. Keuntungan ini harus dibagi dengan agen pengecer. Satu kaset Rp 4.970. Belum cukai Rp 430 per kaset. Kalkulasi jadinya: 40 persen x Rp 800 juta – ([4.970 + 430] x 50 ribu). Kalau saya katakan “versi buku”, ini lantaran sebelum jualan Log mesti memberikan advance di muka.Di masa krisis ini, tidak mudah daftar kriteria seperti itu dipenuhi para produser rekaman. Dana besar, otak dagang, dan hati bisnis, bisa rusak seketika begitu datang situasi tidak menentu akibat rupiah yang sempoyongan. Saya bisa mengerti kalau dari seratusan perusahaan rekaman lokal yang ada, hanya sekitar 20 saja yang dikabarkan masih bisa wara-wiri di jagat industri musik. Sisa terbesarnya, sebagian menunggu cuaca baik pasar, sebagian menunggu datangnya artis debutan, sebagian lagi gulung tikar dan banting setir ke usaha lain.



Memulai dengan Bisnis Recording Music

Referensi:
http://www.bengkelmusik.com/
http://kamissore.blogspot.com/2009/01/tips-bisnis-rental-studio-musik-di.html
http://bataviase.co.id/detailberita-10521540.html
http://bisnisukm.com/5161.html
http://apmukti.staff.uns.ac.id/
http://www.acehfeature.org/index.php/site/detailartikel/182/Lima-Raksasa-Internasional-di-Indonesia/